Rabu, 03 Februari 2010

Jakarta "Satu"


Sepanjang jalan menuju daerah Sudirman pagi ini saya jadi berpikir apa yang bisa saya pakai untuk mengisi blog ini yang selalu kosong. Dengan hanya membuka mata dan merekam setiap kejadian di otak ini saya coba menuangkan tulisan ini.

Hari ini terbayang tentang Jakarta, model transportasi apa yang cocok, apakah model transportasi terprimitif, jalan kaki masih bisa dilakukan.

Jam 09.30 saya sudah harus siap siap sesuai janji ketemu kopral Jono dari Purwakarta. Janji awalnya dibuat di daerah Senen, tapi mempertimbangkan macet, yang saya juga tidak tahu di daerah mana saja, kami berjanji bukan bersumpah untuk ketemu di depan “Komdak”. Nama lokasi yang saya tahu letaknya tapi saya tidak tau artinya. Setelah dicek ke mbak google http://kamus.kapanlagi.com/contain/komdak

Untuk sampai di daerah itu saya punya banyak sekali pilihan yang bisa dipakai untuk dinaikin, “pilihan kata yang aneh”, karena memang saya naik diatasnya. Jalan kaki, naik diatas kaki, ojek, naik di atas sepeda motor, taxi, naik di dalam mobil perusahan transportasi yang ber AC atau kopaja, naik ke dalam alat penyiksa termoderen di Jakarta. Tentunya saya tidak perlu menjelaskan arti penyiksa di info terkahir saya kan? Kecuali anda yang setiap hari keluar dari rumah berAC ke mobil berAC yang dibawa supir pribadi, ke kantor atau sekolah berAC. Atau anda yang matanya sudah tidak normal karena tidak bisa melihat penderitaan orang yang berjejal di bus atau kopaja di Jakarta..

Pilihan jatuh ke ojek, cepat, sesuai dengan detik yang berpacu, anti macet tapi tidak anti air, cuaca menyetujui.

Dengan ojek langganan saya meluncur ke daerah komdak melewati daerah Casablanca, di daerah pemakaman umum, TPU Menteng Pulo, yang ada rumah masa depan kita sewaktu menjadi mantan manusia nanti. Lumayan besar juga daerah pemakaman ini, dengan hiasan salib di setiap makam, gunanya apa salib di makam ya? Apa itu bukti orangnya sangat beragama, mungkin pengganti salib besi besar yang digantung di leher sewaktu masih hidup.

Masuk ke underpass Casablanca, serem juga…lebay…ini kan masih siang.

Hanya dengan perjalanan 10 menit saya sudah tiba di seberang Komdak dan dengan menggunakan jembatan penyebrangan yang ada di depan Komdak saya melintasi tol dalam Kota yang tumben sudah tidak macet.

Disini, di depan Komdak ini mata saya bermain dengan lintasan mobil bus AC, kopaja, taxi berjenis jenis, dan ojek yang parker di atas trotoar dan serombongan pengamen yang siap beraksi.

Lokasi di depan Komdak ini adalah lokasi sistim transportasi yang terintegrasi secara alami tanpa terminal yang memadai. Setiap penumpang dari daerah timur, Bekasi dan sekitarnya bisa turun dan langsung berganti ke bus atau kopaja yang menuju daerah selatan, Blok M dan sekitarnya. Atau dengan menggunakan ojek atau taxi ke kantor kantor terdekat. Bisa dibayangkan berapa banyak arus masuk keluar mobil dan orang di lokasi ini, dan berapa besar peluang macet jika tidak bisa diatur. Tidak bisa diatur itu kata klise yang terlihat dari tukang ojek yang masik parker di atas trotoar atau taxi yang berhenti semaunya atau bus yang berhenti di tengah jalan. Memang kalau dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu daerah depan Komdak ini sudah lebih baik dengan berkurangnya penjual kaki lima atau ojek dan taxi dengan adanya pengeras suara yang selalu bersuara memperingati setiap pelanggaran kecil. Sayangnya harus dilakukan berulang, seandainya ada kaset yang bisa diputar berulang.

Di lokasi ini juga kita bisa melihat mobil mobil mewah dengan harga ratusan juta atau miliar bisa berseliweran dengan bus yang penuh dan dijejalin orang yang berdiri bergantung bertukaran bau ketek. Gambaran klise kota kota Negara berkembang katanya.

Dari semua aktifitas di lokasi ini jalan kaki hanya dilakukan ama polisi yang sedang mengawasi arus lalu lintas itu. Dan tentunya saya yang hanya berjalan melintas jembatan penyembrangan jalan di depan Komdak. Berharap banyak? Tentu saja tidak perlu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar